Pemimpin = pelayan ?
Kemarin saya mendapatkan kalimat yang cukup bagus dari Pak Mario Teguh dalam acara MTGW yang disiarkan di Metro TV. Kalimatnya seperti ini “If you want to lead, learn to serve!” yang artinya kurang lebih “Jika Anda ingin memimpin maka belajarlah untuk melayani”. Kalimat ini sangatlah menarik ditengah keadaan pemimpin di negeri ini yang maunya hanya dilayani. Bahkan kalau mau lewat jalan-jalan harus dikosongkan dan rakyat harus mengalah.
“If you want to lead, learn to serve!”
Kalimat diatas juga mengingatkan saya pada dua orang yang masuk ke dalam kehidupan saya. Dan saya anggap sebagai guru kehidupan. Yang pertama adalah seorang kepala sekolah dimana saya menjadi guru di sekolah tersebut. Beliau bagi saya selain guru dalam manajemen sekolah, juga guru dalam kehidupan.
Beliau sering bercerita tentang berbagai macam persoalan kehidupan. Beliau adalah seorang pensiunan PNS yang sudah kurang lebih 40 tahun malang melintang di dunia pendidikan. Pernah menjadi kepala madrasah di sekolah swasta dan juga sekolah negeri. Dan saat ini beliau mengabdikan diri di sekolah tanpa imbalan yang sesuai jika dibandingkan ketika beliau menjadi kepala sekolah di tempat sebelumnya.
Yang menarik adalah beliau tidak segan-segan untuk membabat rumput yang sudah meninggi, menyapu halaman, dan bahkan mengepel lantai. Beliau tidak pernah menyuruh secara langsung tetapi memberikan contoh. Menyuruh tanpa harus memerintah. Mungkin salah satu ciri pemimpin yang bisa dijadikan teladan. Dibanding dengan pemimpin yang hanya bisa memerintah dan menyalah-nyalahkan.
Yang kedua adalah pemilik yayasan dari sekolah tersebut. Beliau memang bukan warga negara Indonesia tetapi menghabiskan sisa usianya dan membangun sebuah lembaga pendidikan di Indonesia. Sebagai seseorang pengusaha yang kaya, uang yang dimiliki digunakan untuk membangun lembaga pendidikan. Dan sisanya untuk keluarga. Yang paling menarik, beliau selalu terjun langsung dalam proyek pembangunan. Berpanas-panas bersama pekerja lainnya.
Beliau mendesain sendiri bangunannya kemudian terjun langsung dalam proses pembangunan. Ciri khas beliau adalah selalu bersebrangan dengan pendapat orang kebanyakan. Misalnya semua orang memilih pendapat A, maka beliau akan memilih pendapat Z dimana banyak orang yang tidak suka. Beliau beralasan bahwa manusia banyak dipengaruhi hawa nafsu dalam menentukan pilihan. Pilihan yang disuka banyak orang belum tentu baik. Karena peran hawa nafsu sangatlah besar. Beliau akan memilih pilihan sendiri sekalipun banyak orang yang menentangnya. Salah satunya adalah pilihannya untuk hidup dan menetap di Indonesia.
Dari dua orang diatas saya banyak belajar tentang kepemimpinan. Dan pesan dari mereka yang saya ingat kuat ada 2 hal yaitu dalam hidup kita harus sabar dan istiqomah. Entah maksudnya apa itu tetapi seiring berjalannya kehidupan saya mulai memahaminya.
Para pemimpin-pemimpin besar adalah orang-orang yang bersedia melayani sesamanya sebagai representasi dari rasa sayangnya kepada Tuhan. Kita bisa kembali mengingat keteladanan yang dicontohkan oleh Baginda kita Nabi Muhammad SAW ketika memimpin umatnya. Rasulullah tidak tega untuk kenyang ketika ada umatnya yang masih kelaparan. Tidak sampai hati untuk bermewah-mewahan ketika masih ada rakyatnya yang miskin. Bahkan ketika ada satu kurma saja yang tersisa di rumah Nabi, dan waktu itu ada yang meminta makanan maka tidak segan-segan Rasulullah memberikannya.
Bahkan suatu ketika Rasulullah pernah memberi makan dengan cara menyuapi kepada orang buta yang beragama yahudi yang selalu menghina Nabi. Orang buta tersebut baru mengetahui kalau yang menyuapinya setiap hari adalah Nabi Muhammad setelah Rasulullah meninggal dunia.
Ketika itu Sayyidina Abu Bakar bertanya kepada Aisyah anaknya yang juga istri Nabi tentang amalan apa yang Nabi Muhammad lakukan tetapi belum pernah dilakukan oleh Abu Bakar. Dan Aisyah pun menjawab bahwa Rasulullah selalu member makan orang buta yahudi yang ada di pasar. Setelah itu Abu Bakar pun pergi ke pasar dan memberi makan orang buta tersebut. Orang yahudi itu malah marah-marah karena mengetahui yang memberi makan bukanlah orang biasanya. Baru saat itulah Abu Bakar menceritakan bahwa yang member makan dia setiap hari adalah Rasulullah orang yang selalu dihinanya. Maka pecahlah tangis orang buta tersebut. Dan saat itu pula bersyahadat di depan Abu Bakar.
Begitu pula ketika Abu Bakar memimpin umat Islam pasca meninggalnya Rasulullah. Saat itu adalah musim dingin. Cuaca dan suhunya sangat dingin. Takut rakyatnya terserang penyakit. Maka Abu Bakar membawa kain atau baju hangat dan mendatangi rakyatnya dari pintu ke pintu untuk memberikan baju hangat tersebut. Bahkan tidak memandang apakah dia Muslim atau pun bukan. Semua diberi baju hangat tersebut langsung dari tangannya sendiri. Pemimpin yang mau melayani.
Dan masih banyak lagi pemimpin-pemimpin dunia yang menunjukkan kualitas dengan cara memberi teladan dan melayani rakyatnya seperti Mahatma Gandhi atau Nelson Mandela.
Pertanyaannya apakah di Negara kita tidak ada lagi seorang pemimpin yang mau melayani rakyatnya. Saya optimis banyak orang yang berjiwa seperti itu. Namun, dalam era demokrasi sekarang ini rasanya sulit untuk menemukan pemimpin baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang denga suka hati melayani rakyat. Karena mereka harus membayar mahal untuk bisa duduk di posisi tersebut. Dengan biaya demokrasi yang sangat mahal seperti sekarang ini.
Saya kira kita tidak membutuhkan pemilu atau pilkada yang menelan biaya sangat besar jika outputnya yang memilih pemimpin yang berpikir bagaimana caranya agar balik modal. Kalau kita mempunyai orang-orang yang sangat amanah yang memikirkan nasib rakyatnya. Yang tidak beorientasi untuk kepentingan pribadi. Dan sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya. Maka kita tidak perlu mengadakan pemilu yang menghabiskan biaya yang sangat besar. Biaya tersebut bisa dialihkan untuk kesejahteraan rakyat. Semoga.
Pemimpin = pelayan ? http://t.co/EX22NYWt