Setiap hari jumat siang seperti sekarang ini sering kali saya membaca status teman-teman di facebook yang membahas tentang khotbah jum’at atau bahkan mengkritik khotibnya. Seolah-olah kita ini kurang puas terhadap khotbahnya atau justru bersilang pendapat dengan khotibnya. Hal ini wajar adanya, saya sendiri juga mengalaminya. Setiap hari jumat saya sholat di sebuah masjid di desa. Bahasa pengantar yang digunakan oleh khotib yaitu bahasa jawa kromo (halus). Selain kendala bahasa, dalam hal penyampaian juga kurang jelas karena rata-rata khotib berusia senja. Alhasil, saya dan juga beberapa orang lain menganggap bahwa khotbah hanya formalitas saja. Tidak perlu paham pun tidak menjadi beban. Untung masih mau mendengarkan. Kalau mau tidur ya silahkan asal tidak membatalkan wudhu dan tidak membaca doa mau tidur apalagi doa masuk khamam.

Namun, ada hal yang berbeda saya rasakan di sholat jumat hari ini. Saya sudah menyiapkan diri untuk benar-benar khusyu’ mendengarkan khotib yang sedang berkhotbah dengan menggunakan bahasa jawa kromo yang saya sendiri tidak bisa memahami 100%.  Khotib yang sudah cukup usia tersebut seperti biasa berkhotbah dengan membaca sebuah kitab berwarna kuning yang kelihatan sudah tidak baru lagi. Namun, semakin saya konsentrasi semakin saya jengkel karena tidak memahami maksud khotbahnya. Tetapi Allah menunjukkan hidayah atau sebuah ilmu ma’rifat kepada saya. Karena saya tidak begitu memahami khotbahnya maka yang saya perhatikan bukan lagi materinya melainkan wajah khotib tersebut. Saya melihat cahaya keikhlasan dibalik wajahnya yang sudah banyak gurat-guratan tersebut.

Ternyata memang ada satu hal yang selama ini kita lupakan. Selama ini kita sering mengkritik khotib yang tidak jelas khtobah tidak menarik materinya dan seolah-olah kita lebih bisa dan lebih bagus jika kita yang berkhotbah. Kita merasa lebih pintar. Tetapi satu hal yang kita lupa bahwa apakah kita bisa menjamin bahwa kita lebih ikhlas dari siapapun. Seringkali kita berbicara di depan umum agar dianggap pintar, berpendidikan. Dengan menggunakan bahasa-bahasa ilmiah yang sebenarnya hanya sebagian orang yang faham. Kita merasa lebih baik dari orang lain. Merasa sudah sarjana, S2, atau bahkan professor sekalipun. Yang dengannya kita merasa mempunyai otoritas berbicara di depan publik. Namun, satu hal yang kita lupa apakah kita ini berani menjamin bahwa kita paling ikhlas. Seringkali kita sakit hati jika kata-kata tidak didengar atau disepelekan. Bahkan kita marah jika ada orang yang tidak sependapat dengan kita.

Kita bisa amati dan jujur pada diri sendiri. Ketika kita melihat dan mendengar seorang politikus, pejabat, penceramah yang ternama sedang berpidato begitu memukau audiensnya. Namun ketersimaan kita hanya ada pada waktu itu saja. Di lain waktu kita sudah lupa. Namun jika kita bandingkan dengan seorang guru ngaji yang sederhana di desa. Yang kata-katanya begitu datar dan bahkan terkesan monoton. Tetapi mampu membekas dalam jangka waktu yang cukup lama di hati pendengarnya.

Selain keikhlasan, ada hal lain yang bisa kita ambil pelajaran. Yaitu tentang ketawadhu’an. Sekalipun yang berkhotbah adalah seorang petani atau seorang guru ngaji yang tidak mempunyai gelar akademis apapun kita tetap saja wajib mendengarkan. Ketika khotbah jumat, jamaah dilarang interupsi sekalipun dia benar dan khotib salah. Namun tetap saja jamaah wajib mengingatkan khotib ketika selesai sholat jumat. Jika khotib tidak mau diingatkan ada baiknya khotib diganti demi kemaslahatan umat.

Pelajaran untuk jumat hari ini adalah sepandai apapun seseorang tentu akan tiada nilainya tanpa ketawadhu’an. Dan sebanyak apapun amal perbuatan seseorang tidak akan ada nilainya tanpa keikhlasan.

Mohon maafkan hamba yang banyak dosa ini.

Wallahua’lam bishowab.